1. Sekilas tentang Buddha dan ajaran kamma
Dua hal yang biasa dipertanyakan orang tentang Buddhisme adalah siapakah Buddha itu dan apakah kamma (karma) ajaran-Nya itu. Penjelasan singkat tentang Buddha dan kepribadian-Nya akan dibahas terdahulu. Selanjutnya kita akan membahas ajaran kamma yang sering disalahpahami baik oleh masyarakat umum maupun umat Buddha sekalipun. A. Siapakah Buddha Gotama? Pertama-tama kita seharusnya mengerti lebih dahulu siapakah Buddha Gotama. Untuk mengenal Buddha Gotama secara lebih dekat, marilah kita meneliti secara singkat berbagai sumber utama yang menjelaskan tentang siapakah sebenarnya Buddha itu dan seperti apakah kepribadian-Nya. Buddha adalah manusia yang telah mencapai penerangan sempurna dengan usaha sendiri tanpa bimbingan maupun bantuan orang lain [SN 56.11]. Bila seseorang mencapai pencerahan melalui bimbingan orang lain, maka ia umumnya disebut sebagai seorang Arahat dan tidak disebut sebagai seorang Buddha. Arahat adalah ia yang telah tercerahkan. Jadi seorang Buddha dapat juga disebut sebagai seorang Arahat, tetapi seorang Arahat belum tentu dapat disebut sebagai seorang Buddha. Walaupun demikian, pencerahan yang dicapai mereka adalah sama. Menurut tradisi tertua ajaran Buddha, hanya terdapat 2 jenis Buddha, yakni Sammâ-sambuddha danPacekka Buddha [MN 142]. Sammâ-sambuddha memiliki kualitas yang lebih mulia daripada Pacekka Buddha. Salah satu alasannya adalah karena Sammâ-sambuddha yang tergerak oleh rasa belas kasihan membabarkan Dhamma ini kepada para manusia dan dewa. Oleh karena jasa mulia inilah, Sammasambuddha dikatakan sebagai individu yang memiliki kualitas termulia, melebihi Pacekka Buddha yang tidak menurunkan ajaran/Dhamma ini [MN 142]. Alasan Pacekka Buddha tidak mengajarkan Dhamma ini adalah karena Dhamma ini bersifat melawan arus duniawi sehingga cukup sulit untuk diterima oleh makhluk biasa. Dhamma ajaran Sammâ-sambuddha ini dapat diperumpamakan sebagai sebuah rakit tua [MN 22]. Diperumpamakan sebagai rakit karena ajaran/Dhamma ini sebenarnya hanya berfungsi sebagai alat untuk menyeberangi pantai seberang yang aman dan damai. Dikatakan tua karena ajaran Buddha bukanlah ajaran yang diciptakan oleh Buddha Gotama 2500 tahun yang lalu, akan tetapi apa yang diajarkan tersebut memang adalah kenyataan/kebenaran sejati yang tidak bersela waktu [SN 12.20]. Buddha Gotama menemukan kembali kenyataan ini, dan karena tergerak oleh rasa belas kasihanlah Buddha Gotama mengajari kita ajaran ini [SN6.1]. Ajaran ini bukan diajarkan untuk mendapat banyak pengikut, bukan untuk mendapat kemasyuran, dan seterusnya. Akan tetapi ajaran ini diajarkan atas rasa belas kasihan dan hanya diperuntukkan gunamenyeberangi pantai seberang [MN 22]. Zaman kian berlalu dan perlahan-lahan figur Buddha berubah menjadi kian ‘mistik.’ Ajaran Buddha juga berubah menjadi kian ‘mistik’ dan ‘kompleks.’ Padahal sebenarnya petapa Gotama yang dilahirkan di Nepal sekitar 2500 tahun yang lalu adalah seorang manusia yang dengan tekad dan usahanya sendiri meraih penerangan sempurna (Buddha). Buddha Gotama selalu mengajarkan Dhamma dengan menggunakan kata-kata yang sederhana agar si pendengar dapat memahaminya dengan mudah [SN 12.20, AN 4.192, AN 11.18]. Begitu sederhananya Buddha Gotama mengajarkan ajaran-Nya sehingga suatu saat Bhikkhu Ânanda, pendamping setia-Nya, mengatakan kepada-Nya bahwa ia telah memahami Dhamma ini secara keseluruhan. Buddha Gotama mengatakan, “Oh, Ânanda, Dhamma ini bermakna sungguh dalam. Janganlah tergesa-gesa berkata demikian” [DN 15]. Ini menunjukan kepada kita bahwa Buddha Gotama selalu menyederhanakan Dhamma yang bermakna dalam ini, dan seseorang yang belum tercerahkan secara sempurna (Arahat) belum layak mengatakan bahwa ia telah memahami Dhamma ini secara keseluruhan. Catatan kuno menyebutkan bahwa Buddha Gotama adalah seorang petapa yang suka hidup menyendiri [MN4], yang menyukai jhâna(meditasi untuk meraih ketenangan batin yang tinggi) [DN29], yang menyukai keheningan dan tidak menyukai keributan [MN 67]. Malahan Buddha Gotama berada di dalam jhâna di saat terakhir hidup-Nya [DN 16], suatu bukti jelas betapa tingginya jhâna ini dihargai oleh-Nya. Buddha Gotama juga memiliki rasa belas kasihan yang luar biasa. Suatu hari seorang bhikkhu (petapa Buddhis) yang sedang diserang sejenis penyakit disentri ditinggalkan oleh para teman bhikkhu-nya. Bhikkhu tersebut diselimuti air tinja. Tak ada yang merawatnya. Tergerak oleh rasa belas kasihan yang luar biasa, Buddha Gotama dan pendamping setia-Nya, Bhikkhu Ânanda, datang dan membersihkan dan merawat bhikkhu ini. Kemudian Buddha Gotama berkata,“Oh, Bhikkhu, kalian telah pergi meninggalkan kehidupan duniawi untuk menjadi seorang petapa Buddhis; sanak keluarga kalian tidak lagi mendampingi kalian. Oh, Bhikkhu, kerabat kalian sesama Bhikkhu lah sekarang yang menjadi sanak keluarga kalian. Siapapun yang merawat mereka yang sakit, ia, Kukatakan, merawat Buddha!” [Vinaya] Hal yang penting untuk diingat itu adalah Buddha Gotama selalu menyanjung ajaran yang sederhana [SN 12.20, AN 4.192, AN 11.18]. Beliau berkali-kali memuji Bhikkhu Sâriputta sebagai bhikkhu yang bijaksana, yang mampu menjelaskan ajaran yang sulit dimengerti (bermakna dalam) sehingga menjadi sederhana dan mudah dimengerti [MN141]. Begitulah sifat Buddha Gotama yang mulia yang menyukai kesederhanaan baik dalam ajaran-Nya maupun dalam menjalani hidup-Nya. B. Cara kerja hukum kamma Marilah kita sekarang membahas ajaran yang sering dikaitkan dengan ajaran Buddha, yakni hukum kamma. Sesungguhnya hukumkamma telah dikenal oleh masyarakat India jauh sebelum era Buddha Gotama. Akan tetapi terdapat cukup banyak perbedaan antara ajaran kamma mereka tersebut dengan ajaran kamma dari Buddha Gotama. Sayangnya perbedaan-perbedaan ini tidak dipelajari dengan baik sehingga apa yang tidak disetujui Buddha Gotama tentang ajaran kamma mereka malahan sekarang disetujui oleh masyarakat Buddhis. Marilah kita meneliti perbedaan-perbedaan tersebut: 1) Menganggap semua perbuatan itu akan membuahkan hasil (kamma). Sesungguhnya hanya perbuatan yang didorong oleh motivasilah yang akan membuahkan hasil [AN 6.63]. Malahan di antara perbuatan, yakni yang melalui pikiran, perkataan, dan perbuatan, perbuatan yang melalui pikiranlah yang dikenal sebagai yang terpenting/berpengaruh dalam ajaran Buddha, bukan perbuatan melalui jasmani seperti yang dianggap oleh kalangan umum [MN 56]. Mengapa ? Karena dalam ajaran Buddha, pikiran inilah yang dapat menciptakan obsesi (keinginan yang kuat) yang akan membentuk hidup ini, yang akan lebih menentukan bahagia tidaknya hidup ini. Misalnya, orang yang terobsesi dengan cinta secara alamiah akan berusaha semampunya untuk menyenangi hati orang yang dicintainya biarpun ia akan mengalami penderitaan untuk mencapainya. Bila ia gagal dalam membahagiai orang yang dicintainya, maka ia akan menderita lagi. Sedangkan orang yang terobsesi dengan kebencian secara alamiah akan berusaha semampunya untuk melukai orang yang dibencinya. Dendam panas tersebut akan membuat hidupnya merana. Kedua jenis obsesi ini disebut oleh Buddha sebagai keterikatan yang membawa kepada segala jenis penderitaan [SN 12.38]. Seseorang yang telah tercerahkan secara sempurna (Arahat) tidak lagi memiliki obsesi, dan oleh karenanya ia terbebas dari segala pembentukan kamma. Buddha mengatakan bahwa ada 4 jeniskamma, yakni kamma yang gelap dengan hasil yang gelap, yang terang dengan hasil yang terang, yang terang dan gelap dengan hasil yang terang dan gelap pula, dan kamma yang menghentikan kamma. Jenis yang terakhir inilah yang akan terhindar dari obsesi, yang dimiliki hanya oleh mereka yang akan menuju pencerahan [AN 4.235, AN 3.33]. Maka tidaklah mengherankan oleh Buddha dinyatakan bahwa motivasi itulah kamma dan pikiran itu jauh lebih penting dari perbuatan jasmani itu sendiri. 2) Menganggap apa yang menimpa diri kita adalah 100% berasal dari hasil kamma. Misalnya, kalau lagi sakit, ia menganggap itu adalah karena hasil kamma buruk. Padahal seseorang bisa saja jatuh sakit karena ia tidak pandai merawat kesehatan dirinya (makan-makanan yang salah dan lain-lain) dan sama sekali tak berhubungan dengan perbuatan jahat masa lampaunya, seperti yang telah dijelaskan oleh Buddha [SN 36.21]. Satu lagi contoh yang paling umum: tidak tahu menghemat dan suka berfoya-foya dan akibatnya ia tidak dapat meraih kekayaan; kemudian ia malah pasrah (tidak berusaha mengubah sifat jeleknya yang suka berfoya-foya) melainkan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa itu adalah hasil kamma-nya (nasibnya) tidak dapat menjadi kaya. Di sini jelas terlihat bahwa ajaran kammaBuddha Gotama tidak membuat kita menjadi pasif dan pasrah terhadap nasib, malahan membuat kita aktif berusaha. 3) Tidak menyadari rumitnya cara kerja hukum kamma. Cara kerja hukum kamma sungguh rumit karena banyak faktor yang menentukan hasilnya. Faktor-faktor tersebut antara lain: pikiran (motivasi) yang mempelopori perbuatan tersebut (obsesinya), kualitas perbuatannya itu sendiri, kondisi yang mengizinkan untuk berbuahnya kamma tersebut, dan lain-lain. Contoh yang sangat bagus telah diberikan oleh Buddha : dua orang mencuri binatang ternak. Orang pertama adalah seorang yang miskin melarat dan dipandang rendah masyarakat, orang kedua adalah seorang yang kaya raya dan berpengaruh di masyarakat. Bila keduanya tertangkap, maka orang pertama mungkin akan dipenjarakan (dihukum lebih berat). Sedangkan orang kedua mungkin hanya akan dikenai denda saja. Jadi satu hal yang sama dapat memberikan dua hasil yang sangat jauh berbeda [AN 3.99]. Tidak mengherankan Buddha mengatakan bahwa hasil dari suatu kammatidak dapat diketahui sampai mendetail [AN 4.77]. 4) Menganggap bahwa asal kita berbuat baik saja, maka kita pasti akan dilahirkan di alam surga. Hal ini adalah kurang tepat adanya [MN 136]. Apa yang dimaksud Buddha adalah bila seseorang berbuat baik yang dimotivasi oleh pikiran baik (yang penuh dengan kebahagiaan dan ketulusan), maka ia akan cenderung secara spontan mengulang kembali perbuatannya tersebut dan menerima terus kebahagiaan yang muncul dari perbuatan baiknya. Oleh karenanya, pikirannya akan lambat-laun dikuasai oleh kebahagiaan dan bukan penyesalan. Dan bila pikirannya telah cenderung menuju ke arah tersebut, maka saat menjelang kematiannya, ia akan berpikiran jernih dan terlahir di alam yang bahagia. Hal ini sesuai dengan poin nomor 1 di atas, yakni motivasi itulah yang disebut sebagai kamma. Dan Buddha juga telah memberikan perincian tentang berbagai jenis motivasi yang berbeda-beda yang memberikan hasil yang berbeda-beda pula [AN 7.49]. Buddha menyebutkan bahwa orang yang berbuat baik yang membahagiakan pikirannya (membuatnya menjadi penuh ketenangan dan terlatih) itulah yang disebutkannya sebagai yang termulia [AN 7.49]. C. Cacat mental: aspek kamma dan biologi Untuk membandingkan ajaran Buddha tentang hukum kamma dengan pengetahuan modern (sains), maka marilah kita menganalisa satu contoh nyata berikut: Tintin bertanya: Saya memiliki saudara ipar yang cacat mental. Setahu saya, cacat mental tersebut disebabkan karena keturunan, ibu mertua saya beserta beberapa saudara perempuannya merupakan carrier gen tersebut. Dan memang setiap saudara perempuan ibu mertua saya memiliki satu anak yang cacat mental. Dari pelajaran biologi, sebagai carrier maka peluang untuk mendapatkan anak cacat mental adalah 50%. Apakah itu berarti si ibu juga memiliki kesalahan yang sama di masa lampau ? Jawaban: Bila ditinjau dari segi biologi, maka penyakit mental yang disebut di atas tersebut mungkin adalah "X-link" yang artinya gen yang menyebabkan penyakit mental tersebut berada di chromosome X (wanita memiliki XX sedang pria memiliki XY). Ini adalah kesimpulan yang diambil dari family tree (pedigree) yang diberikan. Umumnya 50% dari anak laki-laki dari ibu yang carrier mendapat penyakit tersebut. Anak-anak perempuan dari ibu carrier tersebut biasanya tidak mendapat penyakit tersebut. Untuk memastikannya diperlukanpedigree yang lebih lengkap dan penelitian gen tersebut. Bila ditinjau dari sudut pandang Buddhisme, kemungkinan adalah dulunya mereka pernah membenci dan menghina orang-orang yang tidak bersalah (terutama orang-orang yang luhur batinnya). Dan mungkin juga mereka sekeluarga pernah menghina orang yang tidak bersalah tersebut secara bersamaan; dan karena ikatan mereka yang kuat ini, mereka dilahirkan kembali di keluarga/famili yang sama. Ini adalah umum, karena sering kali orang-orang yang dekat dengan kita akan dilahirkan lagi di keluarga/lingkungan kita kelak. Walau terlihat biologi dan Buddhisme menjawab pertanyaan yang sama secara cukup berbeda, tetapi sebenarnya bukanlah demikian. Biologi menjelaskannya dari segi proses materi, bagaimana materi (gen/DNA) menghasilkan akibat yang nampak (phenotype). Sedangkan Buddhisme lebih memilih menjelaskannya dari segi "motivasi" sebagai alasan mengapa sesuatu itu terjadi. Seseorang hanya bisa mendapatkan gen yang buruk setelah ia menanam kamma buruk di kehidupan lampau. Ia tidak mungkin mendapat gen yang buruk tanpa melakukan kamma buruk terdahulu. Jadi setelah melakukan perbuatan buruk tersebut di kehidupan lampau, ia perlu dilahirkan di keluarga yang carrier untuk mendapatkan gen tersebut (ini adalah kondisi yang diperlukan supaya hasil kamma tersebut dapat berbuah). Jadi terlihat bahwa cara kerja hukumkamma sangatlah kompleks, tergantung situasi/kondisi, dan lain-lain. Bila kondisi tepat, maka kamma tersebut berbuah dan ia menerima hasilnya. Bila kondisinya belum tepat, kamma tersebut tidak dapat berbuah (latent) tetapi si pemilik akan menerima hasilnya bila kondisinya sudah tepat. Dalam Buddhisme, seorang anak tidak boleh menyalahkan orang tuanya (ibu yang carrier) karena masing-masing individu menerima hasil kamma mereka masing-masing. Orangtua kita hanyalah sebagai sumber materi gen/DNA tetapi mereka tidak menentukan gen/DNA mana yang akan kita peroleh. Menjawab pertanyaan selanjutnya, ibu carrier tidak memiliki kamma buruk yang sama seperti anaknya karena ia tidak cacat mental. Di sisi lain, ia menerima hasil kamma buruk karena ia mendapat anak yang cacat mental. Terlihat di sini sekali lagi, bahwa anak dan ibu mempunyai ikatan kamma yang kuat, karena kedua-duanya menderita. Sangat sering sekali bila hal ini terjadi (tetapi tidak harus 100%), ibu dan anak tersebut dulunya melakukan perbuatan jahat bersama-sama, hanya mungkin perbuatan jahat mereka tidak sama kadarnya. Dan sekali lagi masing-masing individu menerima hasil dari perbuatan mereka, dan tidak dapat dikatakan gara-gara ibu, anak menderita; atau gara-gara anak, ibu menderita. Hanya pelaku perbuatan menerima hasil perbuatan tersebut dan bukan orang lain. Dalam hal ini, hasil perbuatan si ibu dan anak berbuah dalam waktu yang sama walau dengan intensitas yang berbeda.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar