awal buddha tiongkok

Era Dinasti Han 206 BC- 220 AD Pada Tahun era 156 Bc pada masa pemerintahan Han Wu Di (156 - 83 BC) , dan dimasa dinasti Han Barat. Jalur Sutra dibuka untuk melakukan perdagangan dengan negara - negara tetangga. Pada Tahun 130 Bc Seorang petualang, penjelajah dan pedagang bernama Zhang Qian's melakukan perjalanan kembali kenegeri tiongkok dengan membawa Patung Buddha, Lukisan dan beberapa material yang berasal dari negeri India. Pada Waktu itu kaisar Han Wu Di tidak ada itikad untuk beragama Buddha ataupun mempelajari Budhism semua barang - barang tersebut hanyalah menjadi perhiasan istana saja. Sistem pemerintahan Dinasti Han sendiri lebih banyak dipengaruhi dari agama Tao dan Kong Fu Cu sebagai landasan negara. Agama Buddha yang masuk negeri tiongkok itu sendiri merupakan aliran Mahayana pertama kalinya. Yang menyebar luas kedaerah utara seperti negeri Tiongkok. catatan Aliran Buddha Mahanaya terbentuk pada Tahun 5 Ad di negeri Tiongkok sendiri. Pada Tahun 68 Ad pada masa pemerintahan kaisar Ming dari era Dinasti Han. Membangun Sebuah Vihara pertama kalinya dinegeri tiongkok yang kemudian menjadi pondasi dasar agama Buddha di negeri Tiongkok. Vihara Tersebut di beri nama Vihara Kuda Putih(Baimasi 白馬 寺). Vihara ini Berada diwilayah propinsi Henan / atau kota lou yang. Sejarah pembangunan vihara kuda putih ini merupakan situs agama Buddha penting di negeri tiongkok. Catatan Dari Hou Hansu terdapat kunjungan seorang Bhiksu bernama YueZhi yang masuk kedalam kerajaan pada tahun 2 Bc. Bikhu yue Zhi memulai mengajar darma dan mengajar cara membaca sutra Buddha kepada rakyat tiongkok, Disini era dimulainya agama Buddha di negeri Tiongkok. Selain itu bhiksu Yue Zhi membawa rekananya dari India yang bernama Dharmaraksa dan Kasyapa Mataga mereka yang nantinya menulis sutra yang berasal dari 600.000 kata. Dan diberi judul " 42 bagian Sutra yang berasal dari perkataan Buddha (四十二章經)". Ini adalah sansekrit pertama yang berbahasa Mandarin yang kemudian menjadi basis pentunjuk tata cara sembayang bagi Sangha ataupun umat di negeri Tiongkok. Pada Tahun 164 - 186 Ad seorang Bhiksu bernama Kushan Lokaksema dan menjadi penerjemah Sutra Mahayana yang pertama dalam bahasa mandarin dinegeri Tiongkok. Masa pembangunan vihara kuda putih ini dimulai dari Kaisar ming ( 28 Ad – 75 Ad) sendiri bermimpi tentang Buddha Sedang berdiri diatas awan dan terbang menuju arah barat. Dan kaisar Ming menanyakan kepada menterinya Zhong Hu. Kemudian perdana menteri Zhong Hu menjelaskan mimpi dari kaisar Ming itu sendiri bahwa ia bermimpi tentang Buddha. Kemudian ia mengutus 18 delegasi dari negeri tiongkok untuk mencari Buddha yang dipimpin oleh Cai Yin, Qin Jing and Wang Zun. Mereka kembali dari negeri Tiongkok setelah melakukan perjalanan dari sekitar negeri Afganistan dengan membawa Lukisan Buddha, Patung Buddha, 42 Sutra dan 2 Anggota Sanggha. Kemudian setahun berikutnya Kaisar ming mulai membangun Vihara kuda putih. Pada Era 160- 220 Ad. Dinasti han mengalami gejolak pemberontakan dimana - mana. Pada masa ini agama Buddha masih belum luas. Tetapi Wihara sudah ada pada era tersebut. Pada era ini yang nantinya Terdapat salah tokoh sejarah yang mempengaruhi Buddha Mahayana nantinya yang menjadi Bodhisatva yang kita kenal sebagai Sangha Rama Atau Kuan Di Gung (pembahasan beliau saya akan ungkapkan dalam bab Para bodhisatva dari Buddha yang mempengaruhi negeri Tiongkok)

Kamis, 29 Juli 2010

ಅವಳ್ ಲಹಿರ್ನ್ಯ buddha






Agama Buddha lahir di negara India, lebih tepatnya lagi di wilayah Nepal sekarang, sebagai reaksi terhadap agama Brahmanisme. Sejarah agama Buddha mulai dari abad ke-6 SM sampai sekarang dari lahirnya Buddha Siddharta Gautama. Dengan ini, ini adalah salah satu agama tertua yang masih dianut di dunia. Agama Buddha berkembang dengan unsur kebudayaan India, ditambah dengan unsur-unsur kebudayaan Helenistik (Yunani), Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara. Dalam proses perkembangannya, agama ini praktis telah menyentuh hampir seluruh benua Asia dan telah menjadi agama mayoritas di beberapa negara Asia seperti Thailand, Singapura, Kamboja, Myanmar, Taiwan, dsb. Pencetusnya ialah Siddhartha Gautama yang dikenal sebagai Gautama Buddha oleh pengikut-pengikutnya. Ajaran Buddha sampai ke negara Tiongkok pada tahun 399 Masehi, dibawa oleh seorang bhiksu bernama Fa Hsien. Masyarakat Tiongkok mendapat pengaruhnya dari Tibet disesuaikan dengan tuntutan dan nilai lokal.

Setiap aliran Buddha berpegang kepada Tripitaka sebagai rujukan utama karena dalamnya tercatat sabda dan ajaran sang hyang Buddha Gautama. Pengikut-pengikutnya kemudian mencatat dan mengklasifikasikan ajarannya dalam 3 buku yaitu Sutta Piṭaka (kotbah-kotbah Sang Buddha), Vinaya Piṭaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan Abhidhamma Piṭaka (ajaran hukum metafisika dan psikologi).

Daftar isi

[tampilkan]

[sunting] Konsep Ketuhanan

Perlu ditekankan bahwa Buddha bukan Tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama Buddha berbeda dengan konsep dalam agama Samawi dimana alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke surga ciptaan Tuhan yang kekal.

Ketahuilah para bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.

Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.

Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Maha Esa ini, kita dapat melihat bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain sehingga banyak umat Buddha yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain.

Bila kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci Tripitaka, maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah konsep-konsep tentang alam semesta, terbentuknya Bumi dan manusia, kehidupan manusia di alam semesta, kiamat dan Keselamatan atau Kebebasan.

Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati dimana roh manusia tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir. Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa - dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran & realitas sebenar-benarnya.

[sunting] Moral Buddha

Sebagai mana agama Islam dan Kristen ajaran Buddha juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemoralan. Nilai-nilai kemoralan yang diharuskan untuk umat awam umat Buddha biasanya dikenal dengan Pancasila. Kelima nilai-nilai kemoralan untuk umat awam adalah:

  • Panatipata Veramani Sikkhapadam Samadiyami
  • Adinnadana Veramani Sikkhapadam Samadiyami
  • Kamesu Micchacara Veramani Sikhapadam
  • Musavada Veramani Sikkhapadam Samadiyami
  • Surameraya Majjapamadatthana Veramani Sikkhapadam Samadiyami

yang artinya:

  • aku bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.
  • aku bertekad akan melatih diri menghindari pencurian/mengambil barang yang tidak diberikan.
  • aku bertekad akan melatih diri menghindari melakukan perbuatan asusila
  • aku bertekad akan melatih diri menghidari melakukan perkataan dusta
  • aku bertekad akan melatih diri menghindari makanan atau minuman yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran

Selain nilai-nilai moral di atas, agama Buddha juga amat menjunjung tinggi karma sebagai sesuatu yang berpegang pada prinsip sebab akibat. Kamma (bahasa Pali) atau Karma (bahasa Sanskerta) berarti perbuatan atau aksi. Jadi ada aksi atau karma baik dan ada pula aksi atau karma buruk. Saat ini, istilah karma sudah terasa umum digunakan, namun cenderung diartikan secara keliru sebagai hukuman turunan/hukuman berat dan lain sebagainya. Guru Buddha dalam Nibbedhika Sutta; Anguttara Nikaya 6.63 menjelaskan secara jelas arti dari kamma:

”Para bhikkhu, cetana (kehendak)lah yang kunyatakan sebagai kamma. Setelah berkehendak, orang melakukan suatu tindakan lewat tubuh, ucapan atau pikiran.”

Jadi, kamma berarti semua jenis kehendak (cetana), perbuatan yang baik maupun buruk/jahat, yang dilakukan oleh jasmani (kaya), perkataan (vaci) dan pikiran (mano), yang baik (kusala) maupun yang jahat (akusala).

Kamma atau sering disebut sebagai Hukum Kamma merupakan salah satu hukum alam yang berkerja berdasarkan prinsip sebab akibat. Selama suatu makhluk berkehendak, melakukan kamma (perbuatan) sebagai sebab maka akan menimbulkan akibat atau hasil. Akibat atau hasil yang ditimbulkan dari kamma disebut sebagai Kamma Vipaka.

[sunting] Aliran Buddha

Ada beberapa aliran dalam agama Buddha:

  1. Buddha Theravada
  2. Buddha Mahayana: Zen
  3. Buddha Vajrayana

[sunting] Buddha Mahayana

Patung Buddha Tian Tan. Vihara Po Lin, pulau Lantau, Hong Kong

Sutra Teratai merupakan rujukan sampingan penganut Buddha aliran Mahayana. Tokoh Kwan Im yang bermaksud "maha mendengar" atau nama Sansekertanya "Avalokiteśvara" merupakan tokoh Mahayana dan dipercayai telah menitis beberapa kali dalam alam manusia untuk memimpin umat manusia ke jalan kebenaran. Dia diberikan sifat-sifat keibuan seperti penyayang dan lemah lembut. Menurut sejarahnya Avalokitesvara adalah seorang lelaki murid Buddha, akan tetapi setelah pengaruh Buddha masuk ke Tiongkok, profil ini perlahan-lahan berubah menjadi sosok feminin dan dihubungkan dengan legenda yang ada di Tiongkok sebagai seorang dewi.

Penyembahan kepada Amitabha Buddha (Amitayus) merupakan salah satu aliran utama Buddha Mahayana. Sorga Barat merupakan tempat tujuan umat Buddha aliran Sukhavati selepas mereka meninggal dunia dengan berkat kebaktian mereka terhadap Buddha Amitabha dimana mereka tidak perlu lagi mengalami proses reinkarnasi dan dari sana menolong semua makhluk hidup yang masih menderita di bumi.

Mereka mempercayai mereka akan lahir semula di Sorga Barat untuk menunggu saat Buddha Amitabha memberikan khotbah Dhamma dan Buddha Amitabha akan memimpin mereka ke tahap mencapai 'Buddhi' (tahap kesempurnaan dimana kejahilan, kebencian dan ketamakan tidak ada lagi). Ia merupakan pemahaman Buddha yang paling disukai oleh orang Tionghoa.

Seorang Buddha bukannya dewa atau makhluk suci yang memberikan kesejahteraan. Semua Buddha adalah pemimpin segala kehidupan ke arah mencapai kebebasan daripada kesengsaraan. Hasil amalan ajaran Buddha inilah yang akan membawa kesejahteraan kepada pengamalnya.

Menurut Buddha Gautama , kenikmatan Kesadaran Nirwana yang dicapainya di bawah pohon Bodhi, tersedia kepada semua makhluk apabila mereka dilahirkan sebagai manusia. Menekankan konsep ini, aliran Buddha Mahayana khususnya merujuk kepada banyak Buddha dan juga bodhisattva (makhluk yang tekad "committed" pada Kesadaran tetapi menangguhkan Nirvana mereka agar dapat membantu orang lain pada jalan itu). Dalam Tipitaka suci - intipati teks suci Buddha - tidak terbilang Buddha yang lalu dan hidup mereka telah disebut "spoken of", termasuk Buddha yang akan datang, Buddha Maitreya .

[sunting] Buddha Theravada

Aliran Theravada adalah aliran yang memiliki sekolah Buddha tertua yang tinggal sampai saat ini, dan untuk berapa abad mendominasi Sri Langka dan wilayah Asia Tenggara (sebagian dari Tiongkok bagian barat daya, Kamboja, Laos, Myanmar, Malaysia, Indonesia dan Thailand) dan juga sebagian Vietnam. Selain itu populer pula di Singapura dan Australia.

[sunting] Gramatika

Theravada berasal dari bahasa Pali yang terdiri dari dua kata yaitu thera dan vada. Thera berarti sesepuh khususnya sesepuh terdahulu , dan vada berarti perkataan atau ajaran. Jadi Theravada berarti Ajaran Para Sesepuh.

Istilah Theravada muncul sebagai salah satu aliran agama Buddha dalam Dipavamsa, catatan awal sejarah Sri Lanka pada abad ke-4 Masehi. Istilah ini juga tercatat dalam Mahavamsa, sebuah catatan sejarah penting yang berasal dari abad ke-5 Di yakini Theravada merupakan wujud lain dari salah satu aliran agama Buddha terdahulu yaitu Sthaviravada (Bahasa Sanskerta: Ajaran Para Sesepuh) , sebuah aliran agama Buddha awal yang terbentuk pada Sidang Agung Sangha ke-2 (443 SM). Dan juga merupakan wujud dari aliran Vibhajjavada yang berarti Ajaran Analisis (Doctrine of Analysis) atau Agama Akal Budi (Religion of Reason).

[sunting] Sejarah

Sejarah Theravada tidak lepas dari sejarah Buddha Gotama sebagai pendiri agama Buddha. Setelah Sang Buddha parinibbana (543 SM), tiga bulan kemudian diadakan Sidang Agung Sangha (Sangha Samaya).

Diadakan pada tahun 543 SM (3 bulan setelah bulan Mei), berlangsung selama 2 bulan Dipimpin oleh Y.A. Maha Kassapa dan dihadiri oleh 500 orang Bhikkhu yang semuanya Arahat. Sidang diadakan di Goa Satapani di kota Rajagaha. Sponsor sidang agung ini adalah Raja Ajatasatu. Tujuan Sidang adalah menghimpun Ajaran Sang Buddha yang diajarkan kepada orang yang berlainan, di tempat yang berlainan dan dalam waktu yang berlainan. Mengulang Dhamma dan Vinaya agar Ajaran Sang Buddha tetap murni, kuat, melebihi ajaran-ajaran lainnya. Y.A. Upali mengulang Vinaya dan Y.A. Ananda mengulang Dhamma.

Sidang Agung Sangha ke-2, pada tahun 443 SM , dimana awal Buddhisme mulai terbagi menjadi 2. Di satu sisi kelompok yang ingin perubahan beberapa peraturan minor dalam Vinaya, di sisi lain kelompok yang mempertahankan Vinaya apa adanya. Kelompok yang ingin perubahan Vinaya memisahkan diri dan dikenal dengan Mahasanghika yang merupakan cikal bakal Mahayana. Sedangkan yang mempertahankan Vinaya disebut Sthaviravada.

Sidang Agung Sangha ke-3 (313 SM), Sidang ini hanya diikuti oleh kelompok Sthaviravada. Sidang ini memutuskan untuk tidak merubah Vinaya, dan Moggaliputta Tissa sebagai pimpinan sidang menyelesaikan buku Kathavatthu yang berisi penyimpangan-penyimpangan dari aliran lain. Saat itu pula Abhidhamma dimasukkan. Setelah itu ajaran-ajaran ini di tulis dan disahkan oleh sidang. Kemudian Y.M. Mahinda (putra Raja Asoka) membawa Tipitaka ini ke Sri Lanka tanpa ada yang hilang sampai sekarang dan menyebarkan Buddha Dhamma di sana. Di sana ajaran ini dikenal sebagai Theravada.

[sunting] Kitab Suci

Kitab Suci yang dipergunakan dalam agama Buddha Theravada adalah Kitab Suci Tipitaka yang dikenal sebagai Kanon Pali (Pali Canon). Kitab suci Agama Buddha yang paling tua, yang diketahui hingga sekarang, tertulis dalam Bahasa Pali, yang terbagi dalam tiga kelompok besar (yang disebut sebagai "pitaka" atau "keranjang") yaitu: Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka, dan Abhidhamma Pitaka. Karena terdiri dari tiga kelompok tersebut, maka Kitab Suci Agama Buddha dinamakan Tipitaka (Pali).

[sunting] Ajaran

Ajaran dasar dikenal sebagai Empat Kebenaran Mulia, meliputi:

  • Dukkha Ariya Sacca (Kebenaran Arya tentang Dukkha),

Dukha ialah penderitaan. Dukha menjelaskan bahwa ada lima pelekatan kepada dunia yang merupakan penderitaan. Kelima hal itu adalah kelahiran, umur tua, sakit, mati, disatukan dengan yang tidak dikasihi, dan tidak mencapai yang diinginkan.

  • Dukkha Samudaya Ariya Sacca (Kebenaran Ariya tentang Asal Mula Dukkha),

Samudaya ialah sebab. Setiap penderitaan pasti memiliki sebab, contohnya: yang menyebabkan orang dilahirkan kembali adalah adanya keinginan kepada hidup.

  • Dukkha Nirodha Ariya Sacca (Kebenaran Ariya tentang Terhentinya Dukkha),

Nirodha ialah pemadaman. Pemadaman kesengsaraan dapat dilakukan dengan menghapus keinginan secara sempurna sehingga tidak ada lagi tempat untuk keinginan tersebut.

  • Dukkha Nirodha Ariya Sacca (Kebenaran Ariya tentang Jalan yang Menuju Terhentinya Dukkha).

Marga ialah jalan kelepasan. Jalan kelepasan merupakan cara-cara yang harus ditempuh kalau kita ingin lepas dari kesengsaraan. Delapan jalan kebenaran akan dibahas lebih mendalam pada pokok pembahasan yang selanjutnya.

Inti ajaran Buddha menjelaskan bahwa hidup adalah untuk menderita. Jika di dunia ini tidak ada penderitaan, maka Buddha pun tidak akan menjelma di dunia. Semua hal yang terjadi pada manusia merupakan wujud dari penderitaan itu sendiri. Saat hidup, sakit, dipisahkan dari yang dikasihi dan lain-lain, merupakan wujud penderitaan seperti yang sudah dijelaskan diatas. Bahkan kesenangan yang dialami manusia, dianggap sebagai sumber penderitaan karena tidak ada kesenangan yang kekal di dunia ini. Kesenangan atau kegirangan bergantung kepada ikatannya dengan sumber kesenangannya itu, padahal sumber kesenangan tadi berada di luar diri manusia. Sumber itu tidak mungkin dipengang atau diraba oleh manusia, karena tidak ada sesuatu yang tetap berada. Semua penderitaan disebabkan karena kehausan. Untuk menerangkan hal ini diajarkanlah yang disebut pratitya samutpada, artinya pokok permulaan yang bergantungan. Setiap kejadian pasti memiliki keterkaitan dengan pokok permulaan yang sebelumnya. Ada 12 pokok permulaan yang menjadi fokus pratitya samutpada.

Ajaran tentang Delapan Jalan Kelepasan

Agar terlepas dari penderitaan mereka mereka harus melalui 8 jalan kebenaran yang dibagi menjadi 3 tahap bagian, yaitu:

Sradha / iman

1.Percaya yang benar (Samma ditthi). Sraddha atau iman yang terdiri dari “percaya yang benar” ini memberikan pendahuluan yang terdiri dari: Percaya dan menyerahkan diri kepada Buddha sebagai guru yang berwenang mengajarkan kebenaran, percaya menyerahkan diri kepada dharma atau ajaran buddha, sebagai yang membawanya kepada kelepasan, dan percaya setelah menyerahkan diri kepada jemaat sebagai jalan yang dilaluinya. Sila yaitu usaha untuk mencapai moral yang tinggi

2.Maksud yang benar (Samma sankappa), merupakan hasil “percaya yang benar” yakin bahwa jalan petunjuka budha adalah jalan yang benar

3.Kata-kata yang benar (Samma vaca), maksudnya orang harus menjauhkan diri dari kebohongan dan membicarakan kejahatan orang lain, mengucapkan kata-kata yang kasar, serta melakukan percakapan yang tidak senonoh.

4.Perbuatan yang benar (Samma kammanta), maksudnya bahwa dalam segala perbuatan orang tak boleh mencari keuntungan sendiri.

5.Hidup yang benar (Sama ajiva), maksudnya secara lahir dan batin orang harus murni atu bebas dari penipuan diri

6.Usaha yang benar (Samma vayama), maksudnya seperti pengawasan hawa nafsu agar jangan sampai terjadi tabiat-tabiat yang jahat.

7.Ingatan yang benar (Samma sati), maksudnya pengawasan akal, rencana atau emosi yang merusak kesehatan moral Semadi

8.Semadi yang benar (Samma samadhi) Semadi itu sendiri terbagi menjadi 2 bagian yaitu persiapan atau upcara semadi dan semadinya sendiri. Persiapan atau upacara semadi ini maksudnya kita harus merenungi kehidupan dalam agamannya seperti 7 jalan kebenaran yang dibahas tadi dengan 4 bhawana,yaitu: metta (persahabatan yang universal), karuna (belas kasih yang universal), mudita (kesenangan dalam keuntungan dan akan segala sesuatu), dan upakkha (tidak tergerak oleh apa saja yang menguntungkan diri sendiri, teman, musuh dan sebagainya. Sesudah merenungkan hal-hal tersebut barulah masuk kedalam semadi yang sebenarnya dalam 4 tingkatan yaitu: mengerti lahir dan batinnya, mendapatkan damai batiniahnya, menghilangkan kegirangannya sehingga menjadi orang yang tenang, sampai akhirnya sukha dan dukha lenyap dari semuanya, dan rasa hatinya disudikan. Dengan demikianlah orang sampai pada kelepasan dari penderitaan.

Secara umum sama dengan aliran agama Buddha lainnya, Theravada mengajarkan mengenai pembebasan akan dukkha (penderitaan) yang ditempuh dengan menjalankan sila (kemoralan), samadhi (konsentrasi) dan panna (kebijaksanaan).

Agama Buddha Theravada hanya mengakui Buddha Gotama sebagai Buddha sejarah yang hidup pada masa sekarang. Meskipun demikian Theravada mengakui pernah ada dan akan muncul Buddha-Buddha lainnya.

Dalam Theravada terdapat 2 jalan yang dapat ditempuh untuk mencapai Pencerahan Sempurna yaitu Jalan Arahat (Arahatship) dan Jalan Kebuddhaan (Buddhahood).

[sunting] Hari Raya

Terdapat empat hari raya besar dalam Agama Buddha. Namun satu-satunya yang dikenal luas masyarakat adalah Hari Raya Trisuci Waisak, sekaligus satu-satunya hari raya umat Buddha yang dijadikan hari libur nasional Indonesia setiap tahunnya.

[sunting] Waisak

Penganut Buddha merayakan Hari Waisak yang merupakan peringatan 3 peristiwa. Yaitu, hari kelahiran Pangeran Siddharta (nama sebelum menjadi Buddha), hari pencapaian Penerangan Sempurna Pertapa Gautama, dan hari Sang Buddha wafat atau mencapai Nibbana/Nirwana. Hari Waisak juga dikenal dengan nama Visakah Puja atau Buddha Purnima di India, Vesak di Malaysia dan Singapura, Visakha Bucha di Thailand, dan Vesak di Sri Lanka. Nama ini diambil dari bahasa Pali "Wesakha", yang pada gilirannya juga terkait dengan "Waishakha" dari bahasa Sanskerta

[sunting] Kathina

Hari raya Kathina merupakan upacara persembahan jubah kepada Sangha setelah menjalani Vassa. Jadi setelah masa Vassa berakhir, umat Buddha memasuki masa Kathina atau bulan Kathina. Dalam kesempatan tersebut, selain memberikan persembahan jubah Kathina, umat Buddha juga berdana kebutuhan pokok para Bhikkhu, perlengkapan vihara, dan berdana untuk perkembangan dan kemajuan agama Buddha.

[sunting] Asadha

Kebaktian untuk memperingati Hari besar Asadha disebut Asadha Puja / Asalha Puja. Hari raya Asadha, diperingati 2 (dua) bulan setelah Hari Raya Waisak, guna memperingati peristiwa dimana Buddha membabarkan Dharma untuk pertama kalinya kepada 5 orang pertapa (Panca Vagiya) di Taman Rusa Isipatana, pada tahun 588 Sebelum Masehi. Kelima pertapa tersebut adalah Kondanna, Bhadiya, Vappa, Mahanama dan Asajji, dan sesudah mendengarkan khotbah Dharma, mereka mencapai arahat. Lima orang pertapa, bekas teman berjuang Buddha dalam bertapa menyiksa diri di hutan Uruvela merupakan orang-orang yang paling berbahagia, karena mereka mempunyai kesempatan mendengarkan Dhamma untuk pertama kalinya. Selanjutnya, bersama dengan Panca Vagghiya Bhikkhu tersebut, Buddha membentuk Arya Sangha Bhikkhu(Persaudaraan Para Bhikkhu Suci) yang pertama (tahun 588 Sebelum Masehi ). Dengan terbentuknya Sangha, maka Tiratana (Triratna) menjadi lengkap. Sebelumnya, baru ada Buddha dan Dhamma (yang ditemukan oleh Buddha).

Tiratana atau Triratna berarti Tiga Mustika, terdiri atas Buddha, Dhamma dan Sangha. Tiratana merupakan pelindung umat Buddha. Setiap umat Buddha berlindung kepada Tiratana dengan memanjatkan paritta Tisarana ( Trisarana ). Umat Buddha berlindung kepada Buddha berarti umat Buddha memilih Buddha sebagai guru dan teladannya. Umat Buddha berlindung kepada Dhamma berarti umat Buddha yakin bahwa Dhamma mengandung kebenaran yang bila dilaksanakan akan mencapai akhir dari dukkha. Umat Buddha berlindung kepada Sangha berarti umat Buddha yakin bahwa Sangha merupakan pewaris dan pengamal Dhamma yang patut dihormati.

Khotbah pertama yang disampaikan oleh Buddha pada hari suci Asadha ini dikenal dengan nama Dhamma Cakka Pavattana Sutta, yang berarti Khotbah Pemutaran Roda Dhamma. Dalam Khotbah tersebut, Buddha mengajarkan mengenai Empat Kebenaran Mulia( Cattari Ariya Saccani ) yang menjadi landasan pokok Buddha Dhamma.

[sunting] Magha Puja

Hari Besar Magha Puja memperingati disabdakannya Ovadha Patimokha, Inti Agama Buddha dan Etika Pokok para Bhikkhu. Sabda Sang Buddha di hadapan 1.250 Arahat yang kesemuanya arahat tersebut ditasbihkan sendiri oleh Sang Buddha (Ehi Bhikkhu), yang kehadirannya itu tanpa diundang dan tanpa ada perjanjian satu dengan yang lain terlebih dahulu, Sabda Sang Buddha bertempat di Vihara Veluvana, Rajagaha. Tempat ibadah agama Buddha disebut Vihara.

ಇನ್ದಹ್ನ್ಯ ಅಜರನ್ buddha







roughtorer
30-07-2008, 03:39 PM
Pengenalan Indahnya Ajaran BUDDHA & Daya Tariknya

Daya tarik Ajaran Buddha berkembang dengan Mantap di- seluruh dunia, khususnya bagi mereka yang mencari jawaban di arus globalisasi dari Ideologi yang Bertentangan, Perselisihan Fanatik dan Kekerasan Sia-Sia.

Jumlah pengikut Ajaran Buddha berkembang dengan Pesat di banyak bagian dunia, teristimewa di Australia, Amerika Serikat dan banyak negara di Eropa.
Sebagian negara di Asia di mana Ajaran Buddha pernah secara paksa digantikan oleh Ajaran Komunisme, sekarang muncul kembali dengan Gilang Gemilang.

Mengapa Ketertarikan terhadap Ajaran Buddha ini bertambah besar dan begitu cepat perkembangannya? Barangkali karena semakin banyak orang yang mengakui fakta-fakta di sekitar Buddhism. Yaitu:

Agama Buddha mengedepankan PERDAMAIAN yang sebenarnya dan tidak pernah menganjurkan Kekerasan Apapun di atas namanya.

Ajaran Buddha adalah salah satu Agama Dunia yang Paling Tua. Yang hingga kini, mempunyai Reputasi Terhormat sebagai satu-satunya agama yang belum pernah mempunyai Perang Suci.

Tak ada satu Lembagapun yang pernah pergi ke medan perang untuk menaklukkan kafir atau untuk mengubah orang lain menjadi Penganut Ajaran Buddha.

Tak seorangpun yang pernah diserahkan kepada pedang, atau dihukum gantung atau dengan kata lain dihukum karena tidak percaya pada Ajaran Buddha.

Di antara sekte berbeda Ajaran Budha, ada keramah-tamahan dan kerjasama yang luar biasa.

Agama yang menekankan Belas Kasih, Penerimaan dan Kebaikan

Gerombolan-Gerombolan Kasar dan Pengembara di Asia, diperkenalkan pada Peradaban, Seni, dan kebudayaan.
Alih alih, memaksakan kebudayaan Ajaran Buddha yang Agung dan Luhur.

Umat Budha dikenal akan Keteladanan, Kebajikan Hati dan Keramahan mereka, Bersifat Menerima dan Tidak Mengedepankan Cara-cara Penghakiman.

Hingga saat ini, Buddhism menyebar ke negeri baru, tidak disebabkan oleh Para Misionaris dengan tujuan Agresif guna mengubah keyakinan orang lain, tetapi biasanya didirikan oleh Inisiatif Orang Lokal yang mempersilahkan atau mengundang Para Guru agar dapat berbagi ajaran.


Agama yang menyediakan Jalan Terang untuk perkembangan Rohani dan Pribadi.

Ajaran Buddha bukanlah sebuah koleksi Mitos dan Cerita untuk menguji penalaran kita.

Juga tidak hadir sebagai misteri yang hanya bisa dimengerti oleh para Biksu, Pandita atau sekelompok orang tertentu yang lebih disukai atau orang–orang Yang Terpilih.

Ajaran Buddha hadir sebagai Jalan Terang yang dapat di percaya dan bisa dilakukan siapa saja menurut Pengertian, Pemahaman dan Kemampuannya sendiri.


Merupakan suatu metode yang dapat diterapkan, dan memberikan hasil yang bisa dialami dengan segera.

Agama yang mengajarkan untuk mengambil Tanggung Jawab Penuh atas Tindakan yang dilakukan.

Buddhism tidak mencoba menerangkan masalah di dunia sebagai bagian dari rencana misterius Istadewata.

Tidak menyalahkan sesuatu pada nasib atau wangsit yang manapun terhadap apa saja yang terjadi, baik atau buruk atas pengalaman hidup yang dialami.

Malahan, Buddhism mengajarkan bahwa kita harus bertanggung-jawab untuk hasil tindakan yang telah dilakukan dan sebagai penentu Takdir kita sendiri.

Alih–alih menghindar atau lari dari Persoalan Hidup, kita di anjurkan untuk menghadapi dan menyelesaikan Masalah yang ada Tanpa Masalah.


Agama yang tidak mempunyai tempat untuk Kepercayaan Buta atau Pemujaan yang Tidak melalui Penalaran.

Banyak Agama yang menekankan pada Dogma dan menuntut pengikutnya untuk Percaya secara membabi buta, hal ini menjadi aneh atau tanpa dasar dari sudut pandang Ilmu Pengetahuan. Buddhism tidak mempunyai tempat untuk doktrin seperti itu.

Buddha tidak menginginkan Umatnya untuk percaya kepadanya secara membuta, melainkan mengajarkan pengikutnya untuk berpikir, untuk mempertanyakan dan untuk memahami Ajarannya berdasarkan Pengertian.

Ajaran tentang keterbukaan Pikiran dan Hati yang simpatik, yang menerangi dan menghangatkan alam semesta dengan sinar Kebijaksanaan dan Belas Kasih.

Oleh karena itu Ajaran Buddha disebut Agama yang berdasarkan Analisis.


EHIPASSIKO Datang dan Lihatlah Sendiri,
Agama yang menyambut baik Pertanyaan dan Pemeriksaan ke dalam Ajarannya sendiri.

Kebebasan berpikir sungguh penting. Ajaran Buddha dijalankan secara Ehipassiko, yang artinya mengundang untuk Datang dan Bukti kan, bukan Datang dan Percaya begitu saja.

Ajaran yang membuka diri untuk di Telaah, Di Amati dan di Selidiki. Tidak ada Kewajiban atau Paksaan apapun agar percaya atau menerima Ajaran Buddha.

Buddha menunjukkan Jalan Keselamatan, selanjutnya terserah setiap insan untuk memutuskan mau mengikutinya atau tidak.

Buddha mengibaratkan Ajarannya sebagai RAKIT.


Agama yang menekankan nilai-nilai Universal

Ajaran yang menitik beratkan pada Kebahagiaan Sejati Bagi Semua Mahluk. Ajaran yang dapat diPraktekkan dalam Masyarakat atau dalam Pertapaan, Oleh semua Ras dan Sistim Kepercayaan.

Ajaran Yang sama sekali tidak memihak, sehingga tidak ada 'TEROR' di dalam Agama Buddha. Ajaran yang membebaskan umatnya dari cengkraman para Imam dan juga merupa kan Jalan agar Bebas dari Kemunafikan dan Penindasan Keagamaan.

Buddhism mengajarkan bahwa "Sesuai dengan benih yang telah ditabur, begitulah buah yang akan dituai. la yang berbuat baik akan menerima kebaikan, ia yang berbuat jahat akan menerima kejahatan". Hukum yang tidak memerlukan Label Keagamaan.


Agama yang selaras dengan ilmu Pengetahuan Modern dan merupakan Agama Masa Depan

Ajaran Buddha tidak pernah merasa perlu untuk memberikan Tafsiran Baru terhadap ajarannya atas Penemuan Ilmiah yang ada belakangan ini.

Ilmu Pengetahuan tidak pernah bertentangan dengan Buddhism, karena Ajarannya yang bersifat Ilmiah.

Asas-asas Buddhism dapat dipertahankan dalam keadaan apapun tanpa mengubah Gagasan Dasar.

Ajaran Buddha dihargai Sepanjang Masa, oleh Para Cendikiawan, Ilmuwan, Ahli Filsafat, Kaum Rasionalis, bahkan Para Pemikir Bebas.


Albert Einstein, Ilmuwan Terkemuka abad ke-20:
Agama Masa Depan adalah Agama Kosmik (berkenaan dengan Alam Semesta atau Jagad Raya). Melampaui Tuhan sebagai suatu pribadi serta menghindari Dogma dan Teologi (ilmu ketuhanan). Meliputi yang Alamiah maupun yang Spiritual, Agama yang seharusnya berdasarkan pada Pengertian yang timbul dari Pengalaman akan segala sesuatu yang Alamiah dan Perkembangan Rohani, berupa kesatuan yang penuh arti.

Buddhism sesuai dengan Pemaparan ini.
Jika ada agama yang sejalan dengan kebutuhan Ilmu Pengetahuan Modern, maka itu adalah Ajaran Buddha.


Bertrand Russell, pemenang Nobel dan Filsuf Terkemuka abad ke-20
"Di antara agama-agama besar dalam sejarah, saya lebih menyukai Ajaran Buddha". Ajaran Buddha menganut Metode Ilmiah dan menjalankan nya sampai pada suatu kepastian yang dapat disebut Rasionalistik. Ajaran Buddha membahas sampai di luar jangkauan Ilmu Pengetahuan karena keterbatasan Peralatan Mutakhir. Ajaran Buddha adalah ajaran mengenai Penaklukan Pikiran.

Dr. C.G. Jung, Pelopor Psikologi Modern

Sebagai seorang Pelajar Studi Banding Agama, saya yakin bahwa Ajaran Buddha adalah yang paling sempurna yang pernah dikenal dunia.
Filsafat Teori Evolusi dan Hukum Karma jauh melebihi kepercayaan lainnya. Tugas saya adalah menangani Penderitaan Batin, dan inilah yang mendorong saya menjadi akrab dengan Pandangan dan Metode Buddha, yang berTema Pokok mengenai Rantai Penderitaan, Ketuaan, Kesakitan, dan Kematian.


Agama dengan Jalan Pencerahan Yang Unik

Bukan Metafisik (Tidak Kelihatan)
ataupun Ritualistik (Upacara)
Bukan Skeptik (Kesangsian)
ataupun Dogmatik (Wahyu)
Bukan Penyiksaan Diri
ataupun Pemanjaan Diri
Bukan Pesimisme
ataupun Optimisme
Bukan Eternalisme (KeAbadian)
ataupun Nihilisme (Pemusnahan)
Bukan Mutlak Dunia ini
ataupun Dunia Lain
Ajaran Buddha adalah Jalan Pencerahan Yang Unik

Pergilah Kalian,Demi Kesejahteraan Semua,
Demi Kebahagiaan Semua,
Atas Dasar Belas Kasih Kepada Dunia,
Demi Manfaat, Kesejahteraan,
Dan Kebahagiaan Para Dewa Dan Manusia.

Janganlah Pergi Berdua Dalam Satu Jalan,
Babarkanlah Dharma Ini,
Yang Indah Pada Awalnya,
Indah Pada Tengahnya,
Dan Indah Pada Akhirnya.
- Buddha Sakyamuni

Senin, 26 Juli 2010

1. Sekilas tentang Buddha dan ajaran kamma

Dua hal yang biasa dipertanyakan orang tentang Buddhisme adalah siapakah Buddha itu dan apakah kamma (karma) ajaran-Nya itu. Penjelasan singkat tentang Buddha dan kepribadian-Nya akan dibahas terdahulu. Selanjutnya kita akan membahas ajaran kamma yang sering disalahpahami baik oleh masyarakat umum maupun umat Buddha sekalipun.


A. Siapakah Buddha Gotama?

Pertama-tama kita seharusnya mengerti lebih dahulu siapakah Buddha Gotama. Untuk mengenal Buddha Gotama secara lebih dekat, marilah kita meneliti secara singkat berbagai sumber utama yang menjelaskan tentang siapakah sebenarnya Buddha itu dan seperti apakah kepribadian-Nya.

Buddha adalah manusia yang telah mencapai penerangan sempurna dengan usaha sendiri tanpa bimbingan maupun bantuan orang lain [SN 56.11]. Bila seseorang mencapai pencerahan melalui bimbingan orang lain, maka ia umumnya disebut sebagai seorang Arahat dan tidak disebut sebagai seorang Buddha. Arahat adalah ia yang telah tercerahkan. Jadi seorang Buddha dapat juga disebut sebagai seorang Arahat, tetapi seorang Arahat belum tentu dapat disebut sebagai seorang Buddha. Walaupun demikian, pencerahan yang dicapai mereka adalah sama. Menurut tradisi tertua ajaran Buddha, hanya terdapat 2 jenis Buddha, yakni Sammâ-sambuddha danPacekka Buddha [MN 142]. Sammâ-sambuddha memiliki kualitas yang lebih mulia daripada Pacekka Buddha. Salah satu alasannya adalah karena Sammâ-sambuddha yang tergerak oleh rasa belas kasihan membabarkan Dhamma ini kepada para manusia dan dewa. Oleh karena jasa mulia inilah, Sammasambuddha dikatakan sebagai individu yang memiliki kualitas termulia, melebihi Pacekka Buddha yang tidak menurunkan ajaran/Dhamma ini [MN 142]. Alasan Pacekka Buddha tidak mengajarkan Dhamma ini adalah karena Dhamma ini bersifat melawan arus duniawi sehingga cukup sulit untuk diterima oleh makhluk biasa. Dhamma ajaran Sammâ-sambuddha ini dapat diperumpamakan sebagai sebuah rakit tua [MN 22]. Diperumpamakan sebagai rakit karena ajaran/Dhamma ini sebenarnya hanya berfungsi sebagai alat untuk menyeberangi pantai seberang yang aman dan damai. Dikatakan tua karena ajaran Buddha bukanlah ajaran yang diciptakan oleh Buddha Gotama 2500 tahun yang lalu, akan tetapi apa yang diajarkan tersebut memang adalah kenyataan/kebenaran sejati yang tidak bersela waktu [SN 12.20]. Buddha Gotama menemukan kembali kenyataan ini, dan karena tergerak oleh rasa belas kasihanlah Buddha Gotama mengajari kita ajaran ini [SN6.1]. Ajaran ini bukan diajarkan untuk mendapat banyak pengikut, bukan untuk mendapat kemasyuran, dan seterusnya. Akan tetapi ajaran ini diajarkan atas rasa belas kasihan dan hanya diperuntukkan gunamenyeberangi pantai seberang [MN 22].

Zaman kian berlalu dan perlahan-lahan figur Buddha berubah menjadi kian ‘mistik.’ Ajaran Buddha juga berubah menjadi kian ‘mistik’ dan ‘kompleks.’ Padahal sebenarnya petapa Gotama yang dilahirkan di Nepal sekitar 2500 tahun yang lalu adalah seorang manusia yang dengan tekad dan usahanya sendiri meraih penerangan sempurna (Buddha). Buddha Gotama selalu mengajarkan Dhamma dengan menggunakan kata-kata yang sederhana agar si pendengar dapat memahaminya dengan mudah [SN 12.20, AN 4.192, AN 11.18]. Begitu sederhananya Buddha Gotama mengajarkan ajaran-Nya sehingga suatu saat Bhikkhu Ânanda, pendamping setia-Nya, mengatakan kepada-Nya bahwa ia telah memahami Dhamma ini secara keseluruhan. Buddha Gotama mengatakan, “Oh, Ânanda, Dhamma ini bermakna sungguh dalam. Janganlah tergesa-gesa berkata demikian” [DN 15]. Ini menunjukan kepada kita bahwa Buddha Gotama selalu menyederhanakan Dhamma yang bermakna dalam ini, dan seseorang yang belum tercerahkan secara sempurna (Arahat) belum layak mengatakan bahwa ia telah memahami Dhamma ini secara keseluruhan.

Catatan kuno menyebutkan bahwa Buddha Gotama adalah seorang petapa yang suka hidup menyendiri [MN4], yang menyukai jhâna(meditasi untuk meraih ketenangan batin yang tinggi) [DN29], yang menyukai keheningan dan tidak menyukai keributan [MN 67]. Malahan Buddha Gotama berada di dalam jhâna di saat terakhir hidup-Nya [DN 16], suatu bukti jelas betapa tingginya jhâna ini dihargai oleh-Nya. Buddha Gotama juga memiliki rasa belas kasihan yang luar biasa. Suatu hari seorang bhikkhu (petapa Buddhis) yang sedang diserang sejenis penyakit disentri ditinggalkan oleh para teman bhikkhu-nya. Bhikkhu tersebut diselimuti air tinja. Tak ada yang merawatnya. Tergerak oleh rasa belas kasihan yang luar biasa, Buddha Gotama dan pendamping setia-Nya, Bhikkhu Ânanda, datang dan membersihkan dan merawat bhikkhu ini. Kemudian Buddha Gotama berkata,“Oh, Bhikkhu, kalian telah pergi meninggalkan kehidupan duniawi untuk menjadi seorang petapa Buddhis; sanak keluarga kalian tidak lagi mendampingi kalian. Oh, Bhikkhu, kerabat kalian sesama Bhikkhu lah sekarang yang menjadi sanak keluarga kalian. Siapapun yang merawat mereka yang sakit, ia, Kukatakan, merawat Buddha!” [Vinaya]

Hal yang penting untuk diingat itu adalah Buddha Gotama selalu menyanjung ajaran yang sederhana [SN 12.20, AN 4.192, AN 11.18]. Beliau berkali-kali memuji Bhikkhu Sâriputta sebagai bhikkhu yang bijaksana, yang mampu menjelaskan ajaran yang sulit dimengerti (bermakna dalam) sehingga menjadi sederhana dan mudah dimengerti [MN141]. Begitulah sifat Buddha Gotama yang mulia yang menyukai kesederhanaan baik dalam ajaran-Nya maupun dalam menjalani hidup-Nya.


B. Cara kerja hukum kamma

Marilah kita sekarang membahas ajaran yang sering dikaitkan dengan ajaran Buddha, yakni hukum kamma. Sesungguhnya hukumkamma telah dikenal oleh masyarakat India jauh sebelum era Buddha Gotama. Akan tetapi terdapat cukup banyak perbedaan antara ajaran kamma mereka tersebut dengan ajaran kamma dari Buddha Gotama. Sayangnya perbedaan-perbedaan ini tidak dipelajari dengan baik sehingga apa yang tidak disetujui Buddha Gotama tentang ajaran kamma mereka malahan sekarang disetujui oleh masyarakat Buddhis. Marilah kita meneliti perbedaan-perbedaan tersebut:

1) Menganggap semua perbuatan itu akan membuahkan hasil (kamma). Sesungguhnya hanya perbuatan yang didorong oleh motivasilah yang akan membuahkan hasil [AN 6.63]. Malahan di antara perbuatan, yakni yang melalui pikiran, perkataan, dan perbuatan, perbuatan yang melalui pikiranlah yang dikenal sebagai yang terpenting/berpengaruh dalam ajaran Buddha, bukan perbuatan melalui jasmani seperti yang dianggap oleh kalangan umum [MN 56]. Mengapa ? Karena dalam ajaran Buddha, pikiran inilah yang dapat menciptakan obsesi (keinginan yang kuat) yang akan membentuk hidup ini, yang akan lebih menentukan bahagia tidaknya hidup ini. Misalnya, orang yang terobsesi dengan cinta secara alamiah akan berusaha semampunya untuk menyenangi hati orang yang dicintainya biarpun ia akan mengalami penderitaan untuk mencapainya. Bila ia gagal dalam membahagiai orang yang dicintainya, maka ia akan menderita lagi. Sedangkan orang yang terobsesi dengan kebencian secara alamiah akan berusaha semampunya untuk melukai orang yang dibencinya. Dendam panas tersebut akan membuat hidupnya merana. Kedua jenis obsesi ini disebut oleh Buddha sebagai keterikatan yang membawa kepada segala jenis penderitaan [SN 12.38]. Seseorang yang telah tercerahkan secara sempurna (Arahat) tidak lagi memiliki obsesi, dan oleh karenanya ia terbebas dari segala pembentukan kamma. Buddha mengatakan bahwa ada 4 jeniskamma, yakni kamma yang gelap dengan hasil yang gelap, yang terang dengan hasil yang terang, yang terang dan gelap dengan hasil yang terang dan gelap pula, dan kamma yang menghentikan kamma. Jenis yang terakhir inilah yang akan terhindar dari obsesi, yang dimiliki hanya oleh mereka yang akan menuju pencerahan [AN 4.235, AN 3.33]. Maka tidaklah mengherankan oleh Buddha dinyatakan bahwa motivasi itulah kamma dan pikiran itu jauh lebih penting dari perbuatan jasmani itu sendiri.

2) Menganggap apa yang menimpa diri kita adalah 100% berasal dari hasil kamma. Misalnya, kalau lagi sakit, ia menganggap itu adalah karena hasil kamma buruk. Padahal seseorang bisa saja jatuh sakit karena ia tidak pandai merawat kesehatan dirinya (makan-makanan yang salah dan lain-lain) dan sama sekali tak berhubungan dengan perbuatan jahat masa lampaunya, seperti yang telah dijelaskan oleh Buddha [SN 36.21]. Satu lagi contoh yang paling umum: tidak tahu menghemat dan suka berfoya-foya dan akibatnya ia tidak dapat meraih kekayaan; kemudian ia malah pasrah (tidak berusaha mengubah sifat jeleknya yang suka berfoya-foya) melainkan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa itu adalah hasil kamma-nya (nasibnya) tidak dapat menjadi kaya. Di sini jelas terlihat bahwa ajaran kammaBuddha Gotama tidak membuat kita menjadi pasif dan pasrah terhadap nasib, malahan membuat kita aktif berusaha.

3) Tidak menyadari rumitnya cara kerja hukum kamma. Cara kerja hukum kamma sungguh rumit karena banyak faktor yang menentukan hasilnya. Faktor-faktor tersebut antara lain: pikiran (motivasi) yang mempelopori perbuatan tersebut (obsesinya), kualitas perbuatannya itu sendiri, kondisi yang mengizinkan untuk berbuahnya kamma tersebut, dan lain-lain. Contoh yang sangat bagus telah diberikan oleh Buddha : dua orang mencuri binatang ternak. Orang pertama adalah seorang yang miskin melarat dan dipandang rendah masyarakat, orang kedua adalah seorang yang kaya raya dan berpengaruh di masyarakat. Bila keduanya tertangkap, maka orang pertama mungkin akan dipenjarakan (dihukum lebih berat). Sedangkan orang kedua mungkin hanya akan dikenai denda saja. Jadi satu hal yang sama dapat memberikan dua hasil yang sangat jauh berbeda [AN 3.99]. Tidak mengherankan Buddha mengatakan bahwa hasil dari suatu kammatidak dapat diketahui sampai mendetail [AN 4.77].

4) Menganggap bahwa asal kita berbuat baik saja, maka kita pasti akan dilahirkan di alam surga. Hal ini adalah kurang tepat adanya [MN 136]. Apa yang dimaksud Buddha adalah bila seseorang berbuat baik yang dimotivasi oleh pikiran baik (yang penuh dengan kebahagiaan dan ketulusan), maka ia akan cenderung secara spontan mengulang kembali perbuatannya tersebut dan menerima terus kebahagiaan yang muncul dari perbuatan baiknya. Oleh karenanya, pikirannya akan lambat-laun dikuasai oleh kebahagiaan dan bukan penyesalan. Dan bila pikirannya telah cenderung menuju ke arah tersebut, maka saat menjelang kematiannya, ia akan berpikiran jernih dan terlahir di alam yang bahagia. Hal ini sesuai dengan poin nomor 1 di atas, yakni motivasi itulah yang disebut sebagai kamma. Dan Buddha juga telah memberikan perincian tentang berbagai jenis motivasi yang berbeda-beda yang memberikan hasil yang berbeda-beda pula [AN 7.49]. Buddha menyebutkan bahwa orang yang berbuat baik yang membahagiakan pikirannya (membuatnya menjadi penuh ketenangan dan terlatih) itulah yang disebutkannya sebagai yang termulia [AN 7.49].


C. Cacat mental: aspek kamma dan biologi

Untuk membandingkan ajaran Buddha tentang hukum kamma dengan pengetahuan modern (sains), maka marilah kita menganalisa satu contoh nyata berikut:

Tintin bertanya:

Saya memiliki saudara ipar yang cacat mental. Setahu saya, cacat mental tersebut disebabkan karena keturunan, ibu mertua saya beserta beberapa saudara perempuannya merupakan carrier gen tersebut. Dan memang setiap saudara perempuan ibu mertua saya memiliki satu anak yang cacat mental. Dari pelajaran biologi, sebagai carrier maka peluang untuk mendapatkan anak cacat mental adalah 50%. Apakah itu berarti si ibu juga memiliki kesalahan yang sama di masa lampau ?

Jawaban:

Bila ditinjau dari segi biologi, maka penyakit mental yang disebut di atas tersebut mungkin adalah "X-link" yang artinya gen yang menyebabkan penyakit mental tersebut berada di chromosome X (wanita memiliki XX sedang pria memiliki XY). Ini adalah kesimpulan yang diambil dari family tree (pedigree) yang diberikan. Umumnya 50% dari anak laki-laki dari ibu yang carrier mendapat penyakit tersebut. Anak-anak perempuan dari ibu carrier tersebut biasanya tidak mendapat penyakit tersebut. Untuk memastikannya diperlukanpedigree yang lebih lengkap dan penelitian gen tersebut.

Bila ditinjau dari sudut pandang Buddhisme, kemungkinan adalah dulunya mereka pernah membenci dan menghina orang-orang yang tidak bersalah (terutama orang-orang yang luhur batinnya). Dan mungkin juga mereka sekeluarga pernah menghina orang yang tidak bersalah tersebut secara bersamaan; dan karena ikatan mereka yang kuat ini, mereka dilahirkan kembali di keluarga/famili yang sama. Ini adalah umum, karena sering kali orang-orang yang dekat dengan kita akan dilahirkan lagi di keluarga/lingkungan kita kelak.

Walau terlihat biologi dan Buddhisme menjawab pertanyaan yang sama secara cukup berbeda, tetapi sebenarnya bukanlah demikian. Biologi menjelaskannya dari segi proses materi, bagaimana materi (gen/DNA) menghasilkan akibat yang nampak (phenotype). Sedangkan Buddhisme lebih memilih menjelaskannya dari segi "motivasi" sebagai alasan mengapa sesuatu itu terjadi. Seseorang hanya bisa mendapatkan gen yang buruk setelah ia menanam kamma buruk di kehidupan lampau. Ia tidak mungkin mendapat gen yang buruk tanpa melakukan kamma buruk terdahulu.

Jadi setelah melakukan perbuatan buruk tersebut di kehidupan lampau, ia perlu dilahirkan di keluarga yang carrier untuk mendapatkan gen tersebut (ini adalah kondisi yang diperlukan supaya hasil kamma tersebut dapat berbuah). Jadi terlihat bahwa cara kerja hukumkamma sangatlah kompleks, tergantung situasi/kondisi, dan lain-lain. Bila kondisi tepat, maka kamma tersebut berbuah dan ia menerima hasilnya. Bila kondisinya belum tepat, kamma tersebut tidak dapat berbuah (latent) tetapi si pemilik akan menerima hasilnya bila kondisinya sudah tepat.

Dalam Buddhisme, seorang anak tidak boleh menyalahkan orang tuanya (ibu yang carrier) karena masing-masing individu menerima hasil kamma mereka masing-masing. Orangtua kita hanyalah sebagai sumber materi gen/DNA tetapi mereka tidak menentukan gen/DNA mana yang akan kita peroleh.

Menjawab pertanyaan selanjutnya, ibu carrier tidak memiliki kamma buruk yang sama seperti anaknya karena ia tidak cacat mental. Di sisi lain, ia menerima hasil kamma buruk karena ia mendapat anak yang cacat mental. Terlihat di sini sekali lagi, bahwa anak dan ibu mempunyai ikatan kamma yang kuat, karena kedua-duanya menderita. Sangat sering sekali bila hal ini terjadi (tetapi tidak harus 100%), ibu dan anak tersebut dulunya melakukan perbuatan jahat bersama-sama, hanya mungkin perbuatan jahat mereka tidak sama kadarnya. Dan sekali lagi masing-masing individu menerima hasil dari perbuatan mereka, dan tidak dapat dikatakan gara-gara ibu, anak menderita; atau gara-gara anak, ibu menderita. Hanya pelaku perbuatan menerima hasil perbuatan tersebut dan bukan orang lain. Dalam hal ini, hasil perbuatan si ibu dan anak berbuah dalam waktu yang sama walau dengan intensitas yang berbeda.